Minggu, 17 April 2011

PLURALISME AGAMA


Pluralitas agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masiang-masing agama.
Pada konteks ini kita memfokuskan diri mengenai ‘isme’ yang dikaitkan dengan agama, yang disederhanakan dengan: Pluralisme Agama. Istilah pluralisme agama masih sering disalahpahami atau mengandung pengertian yang kabur. Hal ini dapat dilihat dari semakin menjamurnya kajian terbuka, khususnya setelah Konsili Vatikan II. Sungguh sangat mengejutkan, ternyata sedikit bahkan sangat langka orang yang memahami secara mendalam makna pluralisme agama. Sehingga tanpa sadar atau karena kurang iman, banyak kalangan yang mengagungkan pemahaman ini dengan menyisihkan keyakinan terhadap agamanya sendiri. Bahkan sebagian kaum muslimin yang meragukan kebenaran Islam tak palang lelah mengampanyekan pemahaman Kristen-Liberal ini dengan mengacak-acak dalil wahyu dan pemikiran para ulama yang shohih (benar). Atas dasar itu, di sini perlu pendefinisian yang jelas dan tegas.
Secara bahasa plural berarti ganda atau beragam. Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu ‘pluralisme’ dan ‘agama’. Dalam bahasa Arab diterjemahkan ‘al-ta’adudiyyah al-diniyyah’ dan dalam bahasa Inggris ‘religious pluralism’.
Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensi berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karaketeristik masing-masing.
Selanjutnya, di sini perlu juga dijelaskan mengenai agama. Agama berasal dari kata gam yang berarti pergi. Ketika memakai awalan a, i, atau u yang panjang dan berakhiran a, maka artinya menjadi jalan. Maksudnya jalan kehidupan, jalan agar sampai kepada Tuhan. Agama bukan berasal dari a + gama, yang berarti tidak + kacau. Karena dalam bahasa Sanksekerta, yang merupakan asalnya, agama terebentuk dari susunan a + gama + a, yang berarti jalan kehidupan.
Sementara itu, defenisi agama dalam wacana pemikiran Barat telah mengundang perdebatan dan polemic yang tak berkesudahan, baik di bidang ilmu filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi maupun di bidang ilmu perbandingan agama sendiri. Sehingga sangat sulit, bahkan hampir bisa dikatakan mustahil untuk mendapatkan defenisi agama yang bisa diterima atau disepakati semua kalangan. Dan saking sulitnya, sampai-sampai sebagian pemikir berpendapat bahwa agama adalah kata-kata yang tidak mungkin didefenisikan.
Berbeda dengan Kristen-Barat, Islam sangat tegas dan jelas dengan konsep dan teorinya. Dalam istilah Islam, agama diungkap dengan kata din dan millah. Menurut ar-Ragib al-Ashfahani, din makna asalnya ta’at dan balasan. Artinya, agama menuntut ketaatan dan menyediakan balasan. Secara khusus Islam memberikan defenisi din sebagai berikut:
Nama suatu yang disyari’atkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, melalui lisan para nabi untuk menghampirkan mereka ke kehadirat Allah.”
Perbedaanya dengan millah terletak pada penyandarannya saja. Jika din disandarkan kepada Allah dan manusia, maka millah hanya disandarkan kepada seorang nabi seperti millah Ibrahim. Tidak akan ditemukan din Ibrahim, ada juga din Allah, atau din kalian.
Ketika disandingan dengan agama, maka pengertian “pluralisme agama” adalah koeksistensi (kondisi hidup bersama) antar-agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas, dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama, seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Dari segi konteks dimana pluralisme agama sering digunakan dalam studi-studi dan wacana-wacana sosio-ilmiyah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan definisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula. John Hick, misalnya, menegaskan bahwa: “…. Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, disamai pada batas yang sama”.
Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan ‘manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu’. Dengan demikian, semua agama sama dan tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Sangat jelas, rumusan Hick ini berangkat dari pendekatan substantif yang mengekang agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial.
Dengan demikian, telah terjadi proses pengebirian dan ‘reduksi’ pengertian ‘agama’ (baca: Islam) yang sangat dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksinistik inilah yang merupakan ‘pangkal permasalahan’ sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan ‘agama’ (Islam) itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehenshif, tidak reduksionistik.
Sebab-sebab lahirnya teori pluralisme agama sangat beragam, sekaligus kompleks. Namun secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal, yang mana antara satu faktor dengan faktor yang lainnya saling mempengaruhi dan saling berhubungan.
Faktor internal merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak (absolute truth-claims) dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah akidah, sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin “keterpilihan”. Adapun faktor faktor yang timbul dari luar dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu faktor sosio-politis dan faktor ilmiyah. Kedua faktor ini terus berkembang sesuai zaman, standar kecerdasan dan keyakinan seseorang terhadap agamanya. Seorang muslim, jika imannya lagi lemah maka dia akan mengakui bahkan meyakini kebenaran agama lain selain Islam.
Keyakinan seseorang yang serba mutlak dan absolut bahwa apa yang diyakini dan diimaninya itu paling benar dan paling superior, adalah alami belaka. Keyakinan akan absolutisme dan kemutlakan ini berlaku dalam hal akidah, mazhab dan ideologi (baik yang berasal dari wahyu Allah maupun dari sumebr lainnya). Kenyataan (absolutisme agama) ini hampir tak satu pun yang mempertanyakan atau mempertentangkannya, hingga datangnya era modern di mana faham relativis agama mulai dikenal dan menyebar secara luas di kalangan para pemikir dan intelektual, khususnya pada dekade-dekade terakhir abad ke 20. Namun, jika dicermati secara seksama dan mendalam, hatta mereka yang meyakini demikian ini dan menolak absolutisme agama pada prinsipnya telah terjebak, secara tak sadar atau mungkin juga sadar, ke dalam suatu yang mereka telah dan sedang berusaha menghindarinya, yakni sebuah keyakinan absolut tentang relativisme agama itu sendiri. Bukti empirisnya, mereka selalu mempertahankan keyakinan ini dengan sekuat tenaga dari berbagai kritik dan pelurusan seraya berusaha memasarkannya dengan gigih dan menggunakan berbagai macam cara kepada khalayak ramai. Inilah yang memperkuat alibi bahwa keyakinan relativisme agama muncul sebagai (semacam) ideologi atau agama baru menggantikan faham absolutisme agama.
Dalam mengurai pluralisme agama, Anis Malik Thoha cukup apik dan unik. Beliau secara gamblang menjelaskan mengenai dua madzhab pluralisme agama ini, yakni humanism sekuler dan teologi global. Humanisme adalah paham kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai pusat dari segala paham. Disebut secular karena pada hakikatnya ia sudah keluar dari agama, dengan mengajukan paham tersendiri tentang kemanusiaan. Dari aspek kemanusiaan tersebutlah maka semua agama bisa dinilai sama. Bahkan ekstrimnya, semua paham keagamaan harus segera dihapuskan dan digantikan dengan satu paham saja, yakni kemanusiaan.
Sementara teologi global, di antaranya dikemukakan oleh W.C. Smith yang mengemukakan perlunya agama baru yang berlaku secara global. Seiring globalisasi yang melanda dunia secara keseluruhan, maka teologi pun harus mengalami globalisasi. Paham-paham keagamaan yang dinilai lokal, dengan sendirinya harus dilebur sehingga menjadi teologi global.
Lain Kristen-Barat, lain Islam. Islam tidak mengakui akidah Yahudi yang tribal dan rasis maupun akidah Kristen yang Trinitarian. Sebab Islam hadir dengan aqidah tauhid yang murni dalam arti yang sebenarnya, yang terekspresikan secara kategoris dalam kalimat syahadat. Kalimat syahadat merupakan pemurnian dan pelurusan terhadap bentuk-bentuk penyelewengan yang terjadi pada akidah umat terdahulu dari golongan Yahudi, Nasrani dan yang lainnya. Pada waktu yang sama, kalimat syahadat merupakan suatu statement akan keberadaan Allah yang berlaku untuk semua manusia. Keyakinan ini sudah dibawa dari zaman nabi Adam hingga nabi terakhir, Muhammad Saw. Semua nabi dan rasul meyakini Islam sebagai agamanya, dan meyakini Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.
Dalam surat lain Allah mengingatkan bahwa konsep teologi yang mereka yakini merupakan bentuk kekufuran atau pembangkangan kepada Allah Swt.
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (72)
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (73)
Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (74)
Al-Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu). (75)
Kalimat sawa’ lainnya sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat sesudahnya adalah keimanan terhadap semua rasul dan kitab yang dikirimkan oleh Allah Swt. termasuk di antaranya Muhamad Saw. Dalam hal ini, bahkan al-Qur’an menyinggung bahwa hal tersebut sudah menjadi perjanjian “primordial” antara Allah dengan mereka, seperti halnya perjanjian “primordial” untuk hanya mengakui Allah Swt. sebagai satu-satunya Tuhan.
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: “Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya.
Dengan begitu, konsep dan pemahaman kegamaan Islam tidak perlu ditransformasikan ke suatu paham yang dinamai pluralisme agama. Tanpa menyamakan semua agamapun, sejak awal Islam mengakui keragaman tapi bukan berarti mengakui kebenaran konsep teologi agama lain. Karena dalam Islam, yang benar jelas benar dan yang batil jelas batil.
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Menurut Adian Husaini, pendapat yang mengatakan bahwa ’semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama’ jelas-jelas merupakan pendapat yang bathil. Jika semua jalan adalah benar, maka tidak perlu Allah Swt. memerintahkan kaum Muslimin untuk berdo’a ‘Ihdinash shirathal mustaqim!’ (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus!). Jelas, dalam surat al-Fatihah disebutkan, ada jalan yang lurus dan ada jalan yang tidak lurus, yaitu jalan yang dimurkai Allah Swt. dan jalannya orang-orang yang tersesat. Jadi, tidak semua jalan adalah lurus dan benar. Ada jalan yang bengkok atau jalan yang sesat dan ada jalan yang lurus. Dan sekarang bagi kita adalah memilih di antara dua jalan itu.
Bagi umat Islam yang tetap istiqomah meyakini kebenaran Islam dan tidak ada kebenaran lain selain itu, jangan bimbang dan ragu. Sebab, mereka yang terjebak dengan pemahaman pluralisme agama yang ‘pinggiran’ dan ‘dangkal’ itu tak memiliki tempat yang kuat dalam sistem dan keyakinan Islam. Mereka hanya menginterpretasikan beberapa ayat al-Qur’an tanpa pemahaman yang substantif, kemudian ditambah dengan klaim dan gagasan beberapa tokoh yang juga masih bingung dengan pluralisme agama itu sendiri. Atau paham yang membingungkan itu sudah merasuk ke dalam hati dan pikiran kita?
Jika mereka percaya bahwa agama lain selain Islam mengandung kebenaran ideologis, maka ada beberapa pertanyaan yang mesti mereka jawab: Apakah mereka siap menikah dengan non-muslim? Apakah mereka siap menikahkan anak mereka dengan non-muslim? Apakah mereka siap dikubur dengan cara non-muslim? Apakah mereka siap keluar dari Islam dan menjadikan agama selain Islam sebagai agama baru mereka? Apakah mereka siap sembahyang di tempat ritual umat agama lain dengan ritual agama selain Islam? Apakah mereka siap tidak membayar zakat karena mengaku sudah menebus dosa kepada pendeta? Aspek apa saja yang terkandung dalam agama selain Islam yang benar dan mesti diyakini dan diikuti oleh seorang muslim?
Jika ada di antara komunitas yang pro pluralisme agama itu yang memberi jawaban dengan jawaban yang benar dan rasional, maka tidak wajar bagi mereka untuk mengikuti agama lain selain Islam sebagai wujud keyakinan mereka dalam ruang kehidupan nyata. Sebetulnya cukup pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi cambuk, itupun kalau mereka beriman secara utuh terhadap konsep syahadat ahlu sunnah wal jama’ah secara benar; bukan menurut tradisi atau akal (logika) mereka semata yang masih butuh pengobatan bahkan mungkin amputasi.
Ingat, bagi seorang muslim, dia mesti yakin tanpa ragu bahwa Islam adalah agama yang benar dan tidak ada lagi agama yang benar selain itu. Keraguan terhadapnya adalah kerugian dan kecelakaan yang niscaya. Sebab, Allah telah menjelaskan secara tegas bahwa agama yang diterima di sisi-Nya hanyalah Islam, dan yang mencari selain itu pasti rugi.
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”.
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
Selain itu, pada dasarnya agama hanya dua, agama samawi (Islam) dan agama budaya/tradisi. Atau dalam ungkapan lain, agama samawi dan agama ardli. Agama samawi artinya agama langit, yakni yang mendasarkan ajarannya pada wahyu dari langit, sementara agama ardli artinya agama bumi, yakni agama yang murni berkembang di bumi tanpa ada kaitan dengan wahyu dari langit.
Al-Qur’an mengingatkan kita bahwa semua nabi dan rasul adalah muslim, tidak satu pun yang kafir kepada Islam sebagai agama Allah yang diturunkan kepada mereka, dan itu ada dan dijelaskan secara tuntas dan jelas dalam wahyu-Nya, bukan rekaan (baca: dibuat-buat) atau dugaan umat Islam.
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”.”
Bahkan para nabi dan rasul bersaksi di hadapan Allah Swt. bahwa suatu masa akan datang seorang rasul dan mereka akan menolongnya.
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui.” Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.”
Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri.” Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar