Minggu, 17 April 2011

PERATURAN DESA SEKARAN


PERATURAN DESA SEKARAN
KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG

NOMOR 5 TAHUN 2001

TENTANG

PEDOMAN PUNGUTAN
ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lembaran Desa Sekaran
Nomor 5 Tahun 2001

PERATURAN DESA SEKARAN
KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG

NOMOR 5 TAHUN 2001
TENTANG
PEDOMAN PUNGUTAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA KELURAHAN SEKARAN
Menimbang :
  1. Bahwa Desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, dalam rangka menunjang pelaksanaan tugasnya, perlu program terencana yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
  2. Bahwa untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintah Desa secara berdayaguna dan berhasilguna sesuai dengan perkembangan pemerintahan dan pembangunan Nasional, maka perlu diatur Pedoman Pungutan Administrasi Kependudukan dalam Peraturan Desa.
Mengingat :
  1. Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945;
  2. Pasal 18 ayat (6), Pasal 28 C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945;
  3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III / MPR / 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan perundang-undangan;
  4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
  5. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
  7. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999, tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden;
  8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1982, tentang Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa;
  9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1982, tentang Pelaksanaan Administrasi Keuangan Desa;
  10. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 63 tahun 1999, tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Penyesuaian Peristilahan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Kelurahan;
  11. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1999, tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa;
  12. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 8 Tahun 2000, tentang Sumber Pendapatan Desa;
  13. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 9 Tahun 2000, tentang Penyususnan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
Dengan Persetujuan

BADAN PERWAKILAN DESA SEKARAN

M E M U T U S K A N
Menetapkan : PERATURAN DESA SEKARAN KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG TENTANG PEDOMAN PUNGUTAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Desa ini yang dimaksud dengan:
  1. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden dan Para Menteri.
  2. Pemerintah Propinsi adalah pemerintah Propinsi Jawa Tengah.
  3. Gubernur adalah Gubernur Jawa Tengah.
  4. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Semarang.
  5. Bupati adalah Bupati Kota Semarang.
  6. Camat adalah Kepala kecamatan sebagai Perangkat daerah Kota Semarang.
  7. Camat adalah Camat Gunungpati.
  8. Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurusi kepentingan masyarakatnya, yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kota.
  9. Pemerintah Desa adalah kegiatan pemerintahan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa.
  10. Pemerintah Desa adalah Kepala Kelurahan dan Perangkat Kelurahan.
  11. Kepala Kelurahan adalah Kepala Kelurahan Sekaran sebagai Pimpinan Pemerintah Desa.
  12. Perangkat Kelurahan adalah Pembantu Kepala Kelurahan yang terdiri dari unsur staf, unsur wilayah dan unsur pelaksana teknis.
  13. Badan Perwakilan Desa yang selanjutnya disebut BPD adalah badan perwakilan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat yang ada di Desa, yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Desa.
  14. BPD adalah BPD Sekaran.
  15. Peraturan Desa adalah semua peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah mendapat persetujuan Badan Perwakilan Desa.
  16. Anggaran Pendapatan dan belanja Desa yang selanjutnya disebut APB Desa adalah rencana anggaran tahunan program umum pemerintahan dan pembangunan Desa yang dijabarkan dan diterjemahkan dalam angka-angka rupiah, yang terdiri atas bagian pendapatan dan bagian pengeluaran.
  17. Tahun anggaran desa adalah sama dengan tahun anggaran yang dibuat untuk kurun waktu 12 (dua belas) bulan, kecuali jika ditentukan lain berdasarkan peraturan yang berlaku.
  18. Kekayaan Desa adalah segala kekayaan dan sumber penghasilan bagi Desa.
  19. Bendaharawan Desa yang selanjutnya disebut Bendaharawan adalah seseorang yang ditugaskan untuk menerima, menyimpan, membayar atau menyerahkan uang, surat-surat berharga dan barang-barang milik Desa serta mempertanggungjawabkannya.
  20. Tuntutan perbendaharaan adalah suatu tata cara perhitungan terhadap bendaharawan, jika dalam pengurusannya terdapat pengurangan perbendaharaan dan terhadap bendaharawan yang bersangkutan diharuskan mengganti kerugian.
  21. Tuntutan ganti rugi adalah suatu proses tuntutan terhadap pegawai dalam kedudukannya bukan sebagai bendaharawan, dengan tujuan menuntut penggantian kerugian disebabkan oleh perbuatannya melanggar hukum dan atau melalaikan kewajibannya atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan kerugian bagi desa.
  22. Pendapatan adalah batas terendah dalam anggaran pendapatan dan belanja desa.
  23. Pengeluaran adalah batas tertinggi dalam anggaran pendapatan dan belanja desa.

BAB II
NAMA OBYEK DAN SUBYEK

Pasal 2
Nama Pungutan adalah Pungutan Administrasi kependudukan yang dipungut atas setiap pelayanan kependudukan.

Pasal 3
Obyek pungutan adalah setiap warga Desa dan warga luar desa yang menggunakan jasa pelayanan administrasi kependudukan.

Pasal 4
Subyek Pungutan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa pelayanan administrasi kependudukan.

BAB III
WILAYAH PUNGUTAN

Pasal 6
Masa pungutan adah jangka waktu tertentu yang lamanya ditentukan dengan Peraturan Desa.


Pasal 7
Pungutan terhitung dalam masa pungutan terjadi sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Pungutan Desa yang selanjutnya disebut SPPD oleh Kepala Kelurahan.

Pasal 8
  1. SPPD diberikan kepada wajib pungutan yang menggunakan jasa pelayanan administrasi kependudukan.
  2. SPPD diberikan kepada wajib pungutan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sebelum berlakunya masa pungutan.
  3. Bentuk, isi dan Tata Cara pengisian SPPD dituangkan dalam Keputusan Desa.

BAB IV
JENIS PUNGUTAN DAN BESARNYA
TARIF PUNGUTAN
Bagian Kesatu
Jenis Pungutan

Pasal 9
Jenis pelayanan administrasi kependudukan meliputi:
  1. Pelayanan administrasi Nikah, Talak, Rujuk dan Cerai;
  2. Pembuatan Kartu Tanda Penduduk;
  3. Surat Keterangan Kelakuan Baik;
  4. Surat Keterangan KTP Sementara;
  5. Surat Keterangan Membawa Hasil Bumi;
  6. Surat Keterangan Jual Beli Hewan/Potong Hewan Besar;
  7. Surat Keterangan Ijin Mendirikan Bangunan;
  8. Surat Keterangan Domisili;
  9. Surat Keterangan Usaha;
  10. Surat Pengantar Naik Haji;
  11. Surat Keterangan Pindah Alamat;
  12. Legalisasi Surat-surat;
  13. Pembuatan Akta Kelahiran;
  14. Iuran Kepala Keluarga;
  15. Iuran Kesejahteraan Hansip;
  16. Retribusi Kendaraan Roda Enam;
  17. Retribusi Kendaraan Roda empat;
  18. Retribusi Angkutan Umum;
  19. Pengelolaan Air Minum Desa.

Pasal 10
Jenis Pungutan Administrasi Pertanahan meliputi:
  1. Surat Perjanjian Jual Beli Tanah;
  2. Iuran Kepemilikan Tanah Sawah dan Darat.

Pasal 11
Jenis Pungutan Administrasi Ekonomi dan Perdagangan meliputi seluruh jenis dan bentuk usaha yang menggunakan sumber daya manusia dan mengelola sumber daya alam dalam wilayah Desa.

Pasal 12
Jenis Pungutan Administrasi Keamanan dan Ketertiban adalah pungutan atas pelaksanaan keramaian, seperti;
  1. Hiburan film;
  2. Dangdut;
  3. Wayang Golek;
  4. Hiburan lainnya.

Bagian Kedua
Besar Tarif Pungutan

Pasal 13
Besar Tarif Pungutan adalah sebagai berikut;
  1. Pungutan Administrasi Kependudukan Umum
Ganti Cetak Blanko NTCR 25.000,00
KTP dan KK 15.000,00
Keterangan Kelakuan Baik 2.000,00
Keterangan Kelahiran 2.500,00
Keterangan KTP Sementara 2.000,00
Keterangan Membawa Hasil Bumi 5.000,00
Keterangan Jual-Beli/Potong Hewan 25.000,00
Keterangan Daftar Keluarga 1.000,00
Keterangan IMB 10.000,00
Keterangan Domisili 50.000,00
Kerangan Usaha 10.000,00
Keterangan Naik Haji 30.000,00
Keterangan Pindah Alamat 10.000,00
Iuran Kepala Keluarga 1.000,00
Iuran Kesejahteraan Hansip 1.000,00
Pembuatan Akta Kelahiran 50.000,00
Legalisasi Surat-Surat 5.000,00
Retribusi Kendaraan Roda Enam 2.000,00
Retribusi Kendaraan Roda Empat 1.000,00
Retribusi Kendaraan Angkot 500.000,00
Pengelolaan Air Bersih Desa 100.000,00
  1. Pungutan Administrasi Pertanahan
Surat Perjenjian Jual Beli Tanah -
Iuran Pemilikan Tanah Sawah/Darat 2,0
  1. Pungutan Administrasi Ekonomi dan Perdagangan
PT/CV 100.000,00
Ternak Ayam 5.000,00
Toko Material 10.000,00
Warung Telekomunikasi 5.000,00
Mebel air 5.000,00
Perbengkelan 5.000,00
Konveksi/Penjahit 2.500,00
Penggilingan Padi 5.000,00
Reparasi Elektronika 2.500,00
Ojeg 1.000,00
Pencucian Mobil 60.000,00
  1. Pungutan Administrasi Keamanan dan Ketertiban
Film 50.000,00
Dangdut, Pongdut dan Orgen 50.000,00
Wayang Golek 50.000,00

BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN

Pasal 14
  1. Pelaksanaan Pungutan desa Tidak dapat diborongkan.
  2. Penanggungjawab Operasional Kegiatan Pungutan yang selanjutnya disebut PjOK adalah Perangkat Kelurahan yang ditunjuk oleh Keputusan Kepala Kelurahan.
  3. Penanggungjawab Administrasi Kegiatan Pungutan yang selanjutnya disebut PjAK adalah Perangkat Kelurahan yang ditunjuk oleh Keputusan Kepala Kelurahan.
  4. Penanggungjawab Keuangan Pungutan yang selanjutnya disebut PjKu adalah Perangkat Kelurahan yang ditunjuk oleh Keputusan Kepala Kelurahan.

Pasal 15
  1. Pungutan Desa dilakukan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pungutan Desa dan atau Dokumen lain yang sejenis.
  2. Untuk Pungutan jenis tertentu dapat dilaksanakan oleh Kolektor Lapangan yang penunjukannya melalui Keputusan Kepala Kelurahan.

Pasal 16
  1. Pembayaran Pungutan Terhutang harus dilunasi sekaligus.
  2. Tata cara Pembayaran, Penyetoran dan tempat Pembayaran diatur lebih lanjut dalam Keputusan Kepala Kelurahan.

BAB VII
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 17
Dalam hal wajib pungutan tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi Administrasi berupa bunga 2 (dua) persen setiap bulan dari pungutan yang terhitung atau kurang dibayar.

Pasal 18
Untuk penagihan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pungutan Desa yang selanjutnya disebut STPD.
Pasal 19
  1. STPD atau Surat Peringatan dan atau surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pungutan desa dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran.
  2. Dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah STPD disampaikan maka wajib pungut harus melunasi pungutan terhutang dan sanksi administrasi yang dikenakan dan menjadi kewajibannya.
  3. STPD, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis yang dikeluarkan oleh PjOK.

BAB VIII
PENGAWASAN

Pasal 20
Komisi 1 BPD memiliki kewenangan sebagai pengawas untuk melakukan penyidikan atas tindak pelanggaran terhadap pelaksanaan pungutan desa, berdasarkan Surat Perintah Tugas Penyidikan yang dikeluarkan oleh Pimpinan BPD.

Pasal 21
Wewenang pengawas sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 20 meliputi:
  1. Menerima, mencari dan meliput keterangan atau laporan sehubungan dengan tindakan pelanggaran terhadap pelaksanaan pungutan desa agar keterangan tersebut menjadi jelas dan lengkap.
  2. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi dan atau badan, laporan sehubungan dengan tindakan pelanggaran terhadap pelaksanaan pungutan desa.
  3. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain laporan sehubungan dengan tindakan pelanggaran terhadap pelaksanaan pungutan desa.
  4. Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi atau tersangka atas tindak pelanggaran terhadap pelaksanaan pungutan desa.
  5. Melakukan tindakan lain yang dianggap perlu untuk kelancaran proses pemeriksaan tindakan pelanggaran terhadap pelaksanaan pungutan desa.

Pasal 22
Hasil temuan dilaporkan secara jelas dan lengkap kepada Pimpinan BPD untuk diteruskan kepada Kepala Kelurahan sebagai dasar untuk memberikan sanksi administrasi terhadap pelanggaran tersebut, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23
Apabila pelaku tindakan pelanggaran terhadap pelaksanaan pungutan desa adalah Bendaharawan Kelurahan, maka dilakukan tindakan tuntutan perbendaharaan.

Pasal 24
Apabila pelaku tindakan pelanggaran terhadap pelaksanaan pungutan desa adalah Perangkat Kelurahan dan atau Pegawai Kelurahan lainnya yang bukan Bendaharawan Kelurahan, maka dilakukan tindakan tuntutan ganti rugi.

Pasal 25
  1. Apabila tuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 tidak dapat dipenuhi oleh pelaku tindak pelanggaran terhadap pelaksanaan pungutan desa, maka dikeluarkan perintah penyitaan barang senilai kerugian oleh Kepala Kelurahan setelah mendapat persetujuan BPD.
  2. Tata cara, bentuk dan isi perintah penyitaan serta hal lain mengenai tuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Kelurahan.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 26
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Desa ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Kelurahan.

Pasal 27
Peraturan Desa ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Desa ini dengan penempatannya dalam Lembaran Desa.
Ditetapkan di Sekaran
Pada tanggal 10 Oktober 2001
KEPALA KELURAHAN SEKARAN



MUNTARI, SH

Diundangkan di Sekaran
Pada tanggal 10 Oktober 2001
SEKRETARIS KELURAHAN SEKARAN



LILIS PUJIASTUTI, SH

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN DALAM HUKUM ADAT JAWA DAN KHI


ABSTRAK
Keberadaan anak angkat di tengah masyarakat adat yang dilakukan oleh keluarga tertentu, nampaknya menjadi fenomena yang cukup menarik untuk dapat diperbincangkan dalam khasanah keilmuan dewasa ini. Anak merupakan amanat dari Tuhan yang maha kuasa, yang diberikan agar dapat dipelihara secara lahir dan bathin oleh keluarga. Seorang anak memang layak hidup dengan segala kebutuhan yang diusahakan oleh kedua orang tua kandung, karena memang sudah menjadi tanggungjawabnya. Namun demikian, keadaan tersebut sering kali tidaklah dapat dirasakan oleh beberapa anak yang mungkin karena salah satu atau kedua orang tuanya telah tiada. Kemungkinan ini menimbulkan keadaan hidup si anak tidak lagi selayak anak yang lain, yang masih mempunyai orang tua kandung. Keadaan seperti ini, dapat pula terjadi dengan adanya kemungkinan karena kedua orang tua kandung memang tidak mampu secara ekonomi membiayai hidup si anak. Beberapa sebab lain dapat pula terjadi, sehingga oleh keluarga lain si anak kemudian diambil untuk dijadikan anak angkat.
Pengangkatan anak oleh keluarga tertentu pada akhirnya mempunyai akibat-akibat yang mungkin terjadi di kemudian hari. Keberadaan anak angkat dalam keluarga memungkinkan adanya ikatan emosional yang tinggi, yang tidak lagi memisahkan satu dengan yang lain. Sehungga, pada saatnya anak angkat dapat diperhitungkan sebagai orang yang berhak mendapatkan harta orang tua angkat setelah meninggal. Inilah akibat yang dimaksud terjadi di kemudian hari.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Anak angkat adalah bagian dari segala tumpuhan dan harapan kedua orang tua (ayah dan ibu) sebagai penerus hidup. Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Namun, demikian tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh keturunan. Sedang keinginan untuk mempunyai anak nampaknya begitu besar. sehingga kemudian di antara merekapun ada yang mengangkat anak.
Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu: pertama, pengangkatan anak dalam arti luas. Ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak sendiri terhadap orang tua sendiri. kedua, ialah pengangkatan anak dalam arti terbatas. yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya terbatas pada hubungan sosial saja.
Di Indonesia, ada tiga sistem hukum yang berlaku dan mengatur permasalahan tentang pengangkatan anak. Ketiga sistem hukum itu adalah hukum Islam, hukum Adat dan hukum Barat. Untuk sementara pembahasan mengenai hukum Barat tidak kami sebutkan di sini, melainkan lebih dikonsentrasikan antara hukum Islam dan hukum Adat di Indonesia.
baru dan proses perubahan sosial. Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagai blue-print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu Hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki dua fungsi; pertama, sebagai kontrol sosial dan kedua, sebagai nilai komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, hukum lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, besar kemungkinan hukum Islam akan mengalami kemandulan fungsi, atau meminjam istilah Abdurrahman Wahid, fosiliasi, bagi kepentingan umat. Karena itu apabila para pemikir hukum tidak memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mereformulasi dan mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat dan mencari penyelesaian hukumnya, maka hukum Islam akan kehilangan aktualitasnya. Sehingga kemudian, sebagai realisasi dari semua itu dipandang perlu untuk diadakan pembaharuan Hukum Islam seperti telah diwujudkan dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam atau dikenal KHI.
KHI Sesuai Inpres no.1 Tahun 1991 sebagaimana termaktub dalam dictumnya adalah perintah kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam. Tujuannya ialah untuk digunakan oleh Instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya.
Sementara itu, hukum adat atas kedudukannya dalam tata hukum nasional Indonesia merupakan hukum tidak tertulis yang berlaku sepanjang tidak menghambat terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia dan menjadi pengatur-pengatur hidup bermasyarakat. Di dalam hukum adat terdapat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang berbagai masalah, termasuk mengenai pengangkatan anak.
Anak angkat, di dalam hukum adat diartikan sebagai suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis. Anak angkat dalam hukum adat mendapat kedudukan yang hampir sama dengan anak sendiri, yaitu dalam hal kewarisan dan perkawinan. Namun sebaliknya, dalam hukum Islam tidak demikian. Hukum Islam secara tegas melarang adanya pengangkatan anak yang mengakibatkan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua angkat dan tidak pula menyebabkan hak waris. Hal ini diterangkan dalam firman Allah SWT.
Akan tetapi, berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sejalan dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kenyataan tersebut dapat dilihat antara lain dalam KHI disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Pengangkatan anak yang dimaksud bertujuan untuk menolong atau sekedar meringankan beban hidup bagi orang tua kandung. Sedang, pengangkatan anak juga sering dilakukan dengan tujuan untuk meneruskan keturunan bilamana dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ada pula yang bertujuan sebagai pancingan seperti di Jawa khususnya. Menurut istilah adat tersebut, dengan mengangkat anak, keluarga tersebut akan dikaruniai anak kandung sendiri. Disamping itu ada yang disebabkan oleh rasa belas kasihan terhadap anak yang menjadi yatim piatu atau disebabkan oleh keadaan orang tuanya yang tidak mampu untuk memberi nafkah. Keadaan demikian, kemudian berlanjut pada permasalahan mengenai pemeliharaan harta kekayaan (harta warisan) baik dari orang tua angkat maupun orang tua asal (kandung). Sedang cara untuk meneruskan pemeliharaan harta kekayaan inipun dapat dilakukan melalui berbagai jalur sesuai dengan tujuan semula.
Hal-hal tersebut di atas, membuat penyusun ingin melihat lebih jauh makna filosofis yang terkandung dari adanya pengangkatan anak yang karena keberadaannya, baik hukum adat Jawa maupun KHI memberikan hak kepada anak angkat untuk mendapatkan harta dari orang tua angkat.
pokok Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat Penyusun sampaikan satu hal yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu:
- Mengapa hukum adat Jawa dan KHI memberikan hak kepada anak angkat untuk memperoleh harta?
Tujuan dan Kegunaan
Mengiringi latar belakang serta permasalahan sebelumnya diharapkan tulisan ini mampu menjawab dan mengungkap persoalan melalui pembahasan yang mudah dimengerti dan terarah dengan baik. Untuk mewujudkan semua itu, ada beberapa tujuan dan nilai guna yang ingin dicapai, antara lain:
Tujuan
Mengetahui alasan-alasan hukum adat Jawa dan KHI dalam memberikan hak kepada anak angkat untuk memperoleh harta.
Kegunaan
1. Sebagai bahan informasi atau pengetahuan tentang hakikat pemberian harta terhadap anak angkat baik dalam hukum adat Jawa maupun KHI.
2. Sebagai bahan referensi bagi siapa saja yang ingin mempelajari lebih dalam permasalahan yang berkaitan dengan anak angkat seperti tersebut di atas.
Telaah Pustaka
Beberapa penelitian yang membahas tentang anak angkat atau pengangkatan anak ini telah cukup banyak dilakukan. Namun, sepengetahuan Penyusun belum ada yang menyinggung tentang hak pemberian harta terhadap anak angkat berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan dalam hukum Adat khususnya di Jawa serta apa yang tertulis dalam KHI. Adapun di antara beberapa penelitian tersebut ialah:
Penelitian yang dilakukan oleh Mila Fursiana Salma Musfiroh dalam tulisannya Studi Perbandingan Antara Hukum Adat dan Hukum Islam Tentang Adopsi. Tulisan tersebut hanya terbatas pada permasalahan apa dan siapakah anak angkat itu dalam perspektif antara dua hukum. Selanjutnya ia juga menyebutkan tentang bagaimanakah pengangkatan anak itu terjadi dalam hukum adat dan hukum Islam. Perbandingan antara dua hukum tersebut dipandang masih bersifat umum.
Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh Dzura Nafisyah Khondary, yang kali ini secara langsung di lapangan, tepatnya di Kelurahan Beringin Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat. Pembahasanya tidak jauh beda dengan sebelumnya. Hanya saja dalam tulisannya, ia lebih mengkonsentransikan pada peristiwa apa yang terjadi dan berlaku di daerah tersebut. Sedang penelitian yang lain, oleh Toha lebih cenderung pada hukum acaranya, yaitu tentang Pemeriksaan dan Pembuktian Status Anak Angkat serta Pewarisannya di Pengadilan Agama Cilacap.
Beberapa penelitian mungkin sedikit bersinggungan dengan pembahasan dalam penelitian ini. Namun, di sini Penyusun mencoba lebih menekankan dan membedakannya pada pembahasan tentang hakikat pemberian harta kepada anak angkat dalam kedudukannya terhadap harta warisan menurut hukum adat yang berlaku khususnya di Jawa, serta KHI.
Selain dari beberapa penelitian di atas, studi tentang anak angkat juga banyak dibahas dalam berbagai kalangan untuk memenuhi khazanah koleksi perpustakaan. Semua itu ditulis dan dipaparkan dengan sudut pandang serta karakter penulisan yang berbeda dan dalam ukuran ilmiah tertentu di Indonesia.
Adapun, di antara tulisan-tulisan tersebut di atas yaitu; tulisan B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak beserta Akibat-akibatnya di Kemudian Hari menjelaskan berbagai pengangkatan anak yang terjadi di beberapa daerah. Kemudia dalam buku Problematika Hukum Islam Kontemporer Chuzaimah T.Yanggo, juga menyebutkan permasalahan hukum anak pungut (anak angkat) dan kedudukan anak asuh, yang pembahasannya berkaitan dengan berbagai pandangan hukum tentang anak angkat. Sedang Soeroso R berbicara tentang Perbandingan Hukum Perdata, disebutkan dalam pembahasannya mengenai adopsi sebagai suatu perbandingan antara Hukum Barat, Hukum Adat dan Hukum Islam. Buku tersebut secara singkat juga mengemukakan berbagai sistem pengangkatan anak di berbagai Negara.
Adapun mengenai hukum adat oleh Soerjono Soekanto dipaparkan secara umum dalam Hukum Adat Indonesia yang menyebutkan suatu deskripsi analisis di antaranya adalah hukum keluarga dan hukum waris. Iman Sudiyat juga memaparkan tentang isi hukum adat dalam bukunya Hukum Adat sketsa Asas. Buku yang pembahasannya hampir sama, juga telah ditulis oleh Soerojo Wignjodipoero dalam Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, yang di antaranya berbicara tentang hukum perkawinan adat dan hukum adat waris.
Buku lain yang secara khusus berbicara mengenai KHI, telah ditulis oleh Cik Hasan Bisri dan M. Daud Ali dkk. Buku tersebut membahas pokok-pokok materi hukum kewarisan, termasuk wasiat wajibah bagi anak angkat. Sedang dalam Fiqh Madzhab Negara oleh Marzuki Wahid dan Rumadi diungkapkan tentang bagaimana pembentukan KHI serta berlakunya bagi masyarakat Indonesia khususnya umat Islam. Ahmad Rofiq, dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia lebih berbicara tentang latar belakang pembentukan KHI.
Buku lain yang juga dapat disebutkan di sini adalah beberapa buku yang menulis tentang keadilan hukum, antara lain; buku tulisan Mukti Ali Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam disebutkan dalam pembahasannya yaitu keadilan dalam Islam. Sedang Juhaya S. Praja dalam Filsafat Hukum Islam menyebutkan tentang beberapa prinsip hukum Islam termasuk keadilan hukum.
Kerangka Teoretik
Untuk dapat memahami sistem hukum adat yang berlaku pada masyarakat Jawa khususnya mengenai pengangkatan anak dan keberadaan anak dalam keluarga termasuk kedudukannya terhadap harta warisan kelak ketika orang tua angkat telah tiada, penyusun menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh Soepomo tentang pengangkatan anak yang berarti tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat dan orang tuanya sendiri. Anak angkat masuk kehidupan rumah tangga orang tua yang mengambilnya, sebagai anggota rumah tangganya (gezinslid), akan tetapi ia tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan turunan bapak angkatnya. Adapun alasan pengangkatan anak oleh Soerojo Wignjodipoero diuraikan, antara lain:
- Karena tidak mempunyai anak sendiri, sehingga memungut seorang keponakan yang merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan.
- Karena belum dikaruniai anak, sehingga dengan memungut keponakan ini diharapkan akan mempercepat kemungkinan mendapat anak.
- Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan, misalnya karena hidupnya kurang terurus dan lain sebagainya.
Mengenai kedudukannya terhadap harta warisan dalam hukum adat menurut B. Bastian Tafal, di Jawa pada umumnya anak angkat itu ngangsu sumur loro artinya mempunyai dua sumber warisan. Karena di samping ia mendapat warisan dari orang tua kandung, ia juga mendapat warisan dari orang tua angkatnya. Hal ini berbeda dengan KHI. Oleh karena KHI dalam hukum kewarisan diatur secara umum adalah ketentuan yang berlaku sejalan dengan hukum yang berlaku bagi pewaris yaitu beragama Islam dan karenanya masalah harta warisannya harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum-hukum Islam., maka berdasarkan hukum Islam anak angkat tidak dapat memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya. Anak angkat hanya berhak atas harta warisan orang tua kandung. Yang demikian, sesuai dengan pengertian anak angkat yang terdapat pada pasal 171 huruf h KHI yang berarti bahwa keberadaan anak angkat dalam keluarga yang mengangkat hanya terbatas pada pemeliharaan hidup dengan kasih sayang, serta memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Akan tetapi, pada pasal 209 KHI menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkat.
Dari uraian di atas, keberadaan anak angkat dalam kedudukannya terhadap harta warisan baik menurut hukum adat Jawa maupun KHI menimbulkan pertanyaan seperti telah dikemukakan dalam pokok masalah. Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut, kemudian penyusun melihat beberapa teori tentang keadilan hukum atau nilai-nilai hukum dalam sistem hukum adat Jawa serta KHI. Teori tersebut dapat digali dari aktifitas kehidupan masyarakat Jawa yang membentuk suatu norma hukum, serta berkaitan dengan keberadaan KHI yang ikut mengatur kehidupan masyarakat pada umumnya. Arti keadilan di dalam hukum adat Jawa dan KHI, menjadi pokok pembahasan yang mendasar untuk dapat dipahami lebih jauh.
Di dalam hukum adat terdapat nilai-nilai universal. soepomo, menyebutkan ada empat bagian yang termasuk dalam nilai-nilai tersebut, yaitu: nilai dengan asas gotong royong, fungsi sosial dan milik dalam masyarakat, asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum, serta asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan. Sedang Anwar Harjono mengatakan bahwa tempat dan waktu adalah faktor yang penting dalam pembentukan hukum, hukum adat baru berlaku jika kaidah-kaidahnya tidak ditentukan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tetapi tidak bertentangan dengan kedua-duanya, sehingga tidak memungkinkan timbulnya konflik antara sumber-sumber hukum itu.
Menurut sistem hukum adat terdapat sendi-sendi hukum adat yang merupakan landasan (fundamental), seperti dikatakan Soerojo Wignjodipoero bahwa hukum adat memiliki corak-corak tersendiri, yaitu:
- mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat
- mempunyai corak religio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam
- hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba kongkrit
- hukum adat mempunyai sifat yang visual.
Dalam teori keadilan, Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut keadilan. Ada tiga prinsip keadilan yang diungkapkan oleh Rawls, yaitu prinsip kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas hidup manusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu, perlu ada aturan-aturan. Sehingga diperlukan hukum. Hukum akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.
Adapun prinsip-prinsip keadilan dapat ditemukan dalam al-Qur’an. Yaitu di antaranya adalah tentang keadilan yang ditetapkan untuk manusia dalam kehidupan masyarakat, disebutkan dalam firman Allah SWT.
Keadilan dalam kehidupan masyarakat biasanya dikatakan sebagai keadilan sosial. Keadilan sosial ialah keseimbangan dalam hidup bermasyarakat, yang menyangkut sikap mental, tingkah laku dan perbuatan, serta untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan sikap dan tingkah laku manusia yang hidup dalam masyarakat, terjelma dalam bentuk nilai-nilai, hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Pada prinsipnya al-Qur’an menetapkan bahwa manusia itu mempunyai hak dan kewajiban yang berimbang antara sesama jenis dan sesama manusia; yang berbeda hanyalah aneka ragam usaha dan kerjanya.
Metode Penelitian
1.Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dengan jenis penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan kaidah atau norma hukum yang ada, mengenai kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa dan KHI. Sedang untuk mendapatkan data atau informasi tentang kedudukan anak angkat terhadap harta warisan ini, maka kemudian diadakan Library Research, sehingga penelitian inipun dinamakan penelitian pustaka. Yaitu penelitian dengan meneliti data yang ada di perpustakaan yang berkenaan dengan pembahasan ini, data tersebut diambil dari bahan primer dan bahan skunder. bahan primer tersebut, antara lain: buku-buku tentang hukum adat dan KHI, makalah tentang anak angkat, dan penelitian mengenai anak angkat. Sedang yang termasuk bahan sekunder, adalah: kamus dan bibliografi.
2.Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Dengan sifat tersebut, maka pada penelitian ini akan digambarkan bagaimana keberadaan anak angkat dalam keluarga berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan baik menurut hukum adat Jawa maupun KHI. Gambaran tersebut akan menjelaskan bagaimana anak angkat dapat memperoleh harta warisan dari orang tua angkat.
3. Pendekatan
Untuk memahami peraturan hukum mengenai kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa dan KHI, Penyusun menggunakan pendekatan filosofis. Dengan pendekatan ini, diharapkan Penyusun akan menemukan beberapa tujuan pemberian harta terhadap anak angkat dari orang tua angkat, prinsip keadilan hukum yang ada dalam hukum adat Jawa dan KHI. Sehingga ditemukan hakikat terdalam atas pemberian hak perolehan harta terhadap anak angkat tersebut.
4. Pengumpulan data
Karena penelitian ini merupakan penelitian library risearch, maka dalam pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi. Dengan metode ini, Penyusun akan menelaah berbagai literatur atau buku-buku yang isinya membahas tentang kedudukan anak angkat terhadap harta warisan baik dalam hukum adat khususnya yang berlaku di Jawa maupun dalam KHI.
5. Analisis data
Setelah Penyusun memperoleh data, maka data-data tersebut diolah/dianalisa untuk diperiksa kembali validitas data dan sekaligus melakukan kritik sumber dengan metode komparatif, yaitu memperbandingkan antara dua sistem hukum tentang pemberian harta terhadap anak angkat. Selanjutnya dilakukan penafsiran terhadap makna kata-kata dan kalimat-kalimat tersebut kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif yang kemudian dilaporkan secara deskriptif.
Sistematika Pembahasan
Melalui metode penelitian tersebut di atas, maka untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, kiranya perlu disusun secara sistematik dengan membaginya dalam beberapa bab sebagai berikut:
Bab I. Merupakan pendahuluan yang digunakan sebagai rambu-rambu atau frame bagi pembahasan selanjutnya. Adapun isinya meliputi; Latar belakang masalah, Pokok masalah, Tujuan dan kegunaan, Telaah pustaka, Kerangka teoretik, Metode penelitian, dan Sistematika pembahasan.
Bab II. dalam bab II penelitian ini membahas tentang Kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa. pada pembahasan ini diuraikan secara berurut, yaitu: Hukum adat Jawa, Anak angkat dalam perspektif hukum adat Jawa, Hukum kewarisan adat Jawa, dan Kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa.
Bab III. Bab ini merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya yang kali ini membicarakan tentang Kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam KHI. Pada pembahasannya diuraikan beberapa hal, antara lain: KHI, Hukum kewarisan KHI, dan Kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam KHI, termasuk di dalamnya adalah mengenai wasiat wajibah bagi anak angkat.
Bab IV. Menguraikan secara faktual berbagai alasan tentang pemberian hak terhadap anak angkat atas harta yang ditinggalkan oleh orang tua angkat baik menurut hukum adat Jawa maupun KHI. Alasan-alasan tersebut di ambil dari maksud dan tujuan serta prinsip keadilan hukum mengenai harta warisan berkaitan dengan kedudukan anak angkat atas keberadaannya dalam keluarga yang mengangkat. Karena itu dalam pembahasannya disebutkan: Peradilan harta dalam hukum adat Jawa dan KHI.
Bab.V. Adalah bab penutup dari pembahasan dalam penelitian ini yang merupakan analisa menyeluruh dari bab-bab sebelumnya yang dijadikan kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dan pada bagian akhir akan ditambahkan beberapa saran.


Pembangunan berkelanjutan



Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987. Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Banyak laporan PBB, yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia 2005, yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan sebagai terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat.
Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun untuk sebagian orang lain, konsep "pertumbuhan ekonomi" itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas
Lingkup dan Definisi
Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga hal dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan.
Scheme of sustainable development: at the confluence of three preoccupations.
Skema pembangunan berkelanjutan:pada titik temu tiga pilar tersebut, Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa "...keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam". Dengan demikian "pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual". dalam pandangan ini, keragaman budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan Hijau pada umumnya dibedakan dari pembangunan bekelanjutan, dimana pembangunan Hijau lebih mengutamakan keberlanjutan lingkungan di atas pertimbangan ekonomi dan budaya. Pendukung Pembangunan Berkelanjutan berargumen bahwa konsep ini menyediakan konteks bagi keberlanjutan menyeluruh dimana pemikiran mutakhir dari Pembangunan Hijau sulit diwujudkan. Sebagai contoh, pembangunan pabrik dengan teknologi pengolahan limbah mutakhir yang membutuhkan biaya perawatan tinggi sulit untuk dapat berkelanjutan di wilayah dengan sumber daya keuangan yang terbatas.
Beberapa riset memulai dari definisi ini untuk berargumen bahwa lingkungan merupakan kombinasi dari ala dan budaya. Network of Excellence "Sustainable Development in a Diverse World" SUS.DIV, sponsored by the European Union, bekerja pada jalur ini. Mereka mengintegrasikan kapasitas multidisiplin dan menerjemahkan keragaman budaya sebagai kunci pokok strategi baru bagi pembangunan berkelanjutan.
Beberapa peneliti lain melihat tantangan sosial dan lingkungan sebagai kesempatan bagi kegiatan pembangunan. Hal ini nyata di dalam konsep keberlanjutan usaha yang mengkerangkai kebutuhan global ini sebagai kesempatan bagi perusahaan privat untuk menyediakan solusi inovatif dan kewirausahaan. Pandangan ini sekarang diajarkan pada beberapa sekolah bisnis yang salah satunya dilakukan di Center for Sustainable Global Enterprise at Cornell University.
Divisi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan mendaftar beberapa lingkup berikut ini sebagai bagian dari Pembangunan Berkelanjutan.:[1]
Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang ambigu, dimana pandangan yang luas berada di bawah naungannya. konsep ini memasukkan pemahaman keberlanjutan lemah, keberlanjutan kuat, dan ekolog mendalam. konsep yang berbeda jga menunjukkan tarik ulur yang kuat antara eko(lingkungan)sentrisme dan antropo(manusia)sentrisme. Oleh karena itu konsep ini lemah didefinisikan dan mengundang debat panjang mengenai definisinya.
Selama sepuluh tahun terakhir, lembaga-lembaga yang berbeda telah berusaha mengukur dan memantau perkiraan atas apa yang mereka pahami sebagai keberlanjutan dengan mengimplementasikan apa yang disebut dengan matrik dan indikator keberlanjutan.