Selasa, 12 April 2011

Tujuan hukum pidana

Tujuan hukum pidana memberi system dalam bahan-bahan yang banyak dari hukum: azas-azas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu system. Penyelidikan secara demikian adalah dogmatis yuridis. Peninjauan bahan-bahan hukum pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggung jawaban manusia tentang perbuatan yang dapat dihukum. [1]
Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum public tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan –kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.[2] Salah satu kesimpulan dari seminar kriminologi ke-3 1976 di Semarang antara lain, hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defense yaitu untuk perlindungan masyarakat.[3]
Namun demikian, dalam perspektif Barat yang kehidupan bersamannya lebih didasarkan pada paham-paham seperti individualisme dan liberalisme. Konsep tentang tujuan diadakannya hukum pidana agaknya cenderung diorientasikan untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai macam kepentingan warga Negara secara individu dari kesewenang-wenangan penguasa. Konsep demikian antara lain dapat ditelusuri melalui berbagai pemikiran barat khususnya yang terkait dengan gagasan tentang azas legalitas. Sementara itu, ada pula pemikiran yang menggabungkan secara sekaligus dua tujuan diadakannya hukum pidana yang telah disebutkan diatas. Sehingga konsepnya menjadi bahwa hukum pidana diadakan tujuannya adalah disamping untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat kemasyarakatan, sekaligus (secara implisit) juga melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan.[4]
Hukum pidana dilihat sebagai ilmu kemasyarakatan tidak terlepas dari sebab-sebab dari kejahatan (Kriminology). Didalam Etiology terdapat beberapa aliran (mazhab=sekolah) tentang sebab-sebab kejahatan antara lain:[5]
1.   Aliran Biologi-Kriminal (mazhab Italia), penganjurnya adalah DR. C. Lombrosso yang menyimpulkan bahwa memang ada orang jahat dari sejak lahir dan tiap penjahat mempunyai banyak sekali sifat yang menyimpang dari orang-orang biasa.
2.   Aliran Sosiologi-Kriminil (mazhab Prancis), penganjurnya A.Lacassagne, aliran ini menolak aliran diatas dengan mengeluarkan pendapat bahwa seseorang pada dasarnya tidak jahat, ia akan berbuat jahat disebabkan karena susunan, corak dan sifat masyarakat dimana penjahat itu hidup.
3.   Aliran Bio-Sosiologis, penganjurnya adalah E. Feri, aliran ini merupakan sintesa dari kedua aliran diatas yang menyimpulkan kejahatan itu adalah hasil dari factor-faktor individual dan social.
Persoalan ini menimbulkan bermacam-macam teori hukum pidana, pada akhirnya teori hukum pidana dibagi dalam 3 jenis, yaitu:
a.   Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl. Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar keadilan hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu melulu untuk menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan itu (pemabalasan).
b.   Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah pembalasan tetapi lebih kepada maksud/ tujuan hukuman, artinya tujuan ini mencari manfaat daripada hukuman. Beberapa doktrin mengajarkan yaitu diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah kejahatan baik pencegahan umum (Algemene Crime) maupun pencegahan khusus (Special Crime). Selain itu, terdapat paham lain yaitu tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan daripada hukuman terletak pada tujuan hukuman. Akan tetapi disamping teori relative ini ini masih dikenal lagi Teori relative modern , penganutnya Frans Von Lizt, Van Hommel, D. Simons. Teori ini berpendapat dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara, dimana negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma.
c.   Teori gabungan (1 dan 2), menurut teori ini dasar hukuman adalah terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori mutlak) tetapi disamping itu diakuinya dasar-dasar tujuan daripada hukuman. Penganut aliran ini diantaranya adalah Binding.
Dalam perspektif teori tentang aliran-aliran pemikiran hukum pidana tersebut, tiga konsep mengenai tujuan diadakannya hukum pidana diatas sebenarnya tercermin (termanifestasi) dalam tiga aliran pokok yang pernah berkembang dalam hukum pidana. Tiga aliran pokok tersebut ialah:[6]

1. Aliran Hukum Pidana Klasik (Daad Strafrecht)
Secara garis besar, konsep pemikiran tentang hukum pidana yang beraliran klasik memiliki ciri sebagai berikut:
  1. titik sentral perhatian hukum pidana dan penegakannya menurut aliran ini adalah perbuatan pelaku kejahatan (Daad artinya perbuatan). Jadi yang terpenting adalah sepanjang fakta/ kenyataan ada orang yang telah berbuat tindak pidana (melanggar aturan hukum pidana), maka orang tersebut harus dijatuhi sanksi pidana sebagaimana telah diancamkan dalam ketentuan hukum tanpa melihat motivasi yang mendorong si pelaku berbuat pelangaran.
  2. Timbulnya konsep Daad Strafrecht, sebenarnya secara teoritik adalah akibat dari pengaruh kuat paham “Indeterminisme” , yaitu suatu paham yang memandang bahwa manusia dan perbuatan adalah otonom/ mandiri (dalam arti tidak terjadi karena pengaruh factor-faktor lain diluar dirinya) melainkan murni dari pilihannnya sendiri. Dalam konfigurasi pemikiran yang demikian ini, maka konsep bahwa perbuatan pidana = penjatuhan sanksi pidana menjadi logis adanya.
  3. Aliran ini dengan dikaitkan dengan salah satu konsep tujuan diadakanya hukum pidana maka bisa dikatakan bahwa aliran klasik tersebut sesungguhnya adalah cermin atau malah penjabaran dari konsep mengenai tujuan diadakannya hukum pidana yang pertama yaitu melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat luas/ kemasyarakatan. Karena dalam aliran klasik ini, begitu terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang, maka demi untuk melindungi masyarakat, orang tersebut harus segera dijatuhi pidana tanpa memperhatikan kondisi (motivasi/ latar belakang) dirinya saat berbuat tindak pidana.

2. Aliran Hukum Pidana Modern (Daader Strafrecht)
Secara garis besar, konsep pemikiran tentang hukum pidana yang beraliran modern atau daader strafrecht ini memiliki cirri-ciri pokok sebagai berikut:
a. Titik sentral perhatian hukum pidana dan penegakannnya dalam aliran ini adalah pada diri si pelaku kejahatan (Daader artinya pelaku). Jadi, ketika terjadi suatu tindak pidana maka tidaklah selalu otomatis pelakunya harus dijatuhi sanksi pidana tertentu sesuai dengan ketentuan hukum. Karena dalam ini harus diselidiki/ dibuktikan terlebih dahulu apa yang sesungguhnya menjadi latar belakang atau motivasi dari pelaku saat melakukan tindak pidana tersebut.
b. Timbulnya konsep Daader Strafrecht diatas, secara teoritik adalah akibat adanya pengaruh kuat dari paham “Determinisme”, yaitu paham yang memandang bahwa manusia dan perbuatannya adalah sama sekali tidak otonom. Artinya dipengaruhi oleh hal-hal eksternal diluar dirinya. Dalam perkembangannya Determinisme ini pun kemudian sampai pada gagasan perlunya mengganti konsep pemberian sanksi pidana (yang cenderung bersifat punishment/ hukuman, menjadi pengenakan tindakan (yang lebih bersifat treatment/ pembinaan).
c. Apabila aliran pemikiran hukum pidana modern ini dikaitkan dengan salah satu konsep tentang tujuan diadakannya hukum pidana, maka bisa dikatakan bahwa aliran ini sesungguhnya adalah cermin atau malah penjabaran dari konsep mengenai tujuan diadakannya hukum pidana yang kedua (yaitu melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan dari setiap individu warga Negara). Hal ini terlihat dari konsep aliran modern ini yang menghendaki aspek kondisional dalam diri pelaku tujuannya ialah agar individu pelaku kejahatan yang menjadi calon terpidana tersebut pun dapat tetap terjamin perlindungan hak-haknya dari kemungkinan mengalami kesewenag-wenangan penguasa.
3. Aliran Hukum Pidana Neo Klasik/ Neo Modern (Daad-Daader Strafrecht)
Secara garis besar, konsep pemikiran tentang hukum pidana yang beraliran Neo Klasik/ Neo Modern (Daad-Daader Strafrecht) memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:
a.   Titik setral perhatian hukum pidana dan penegakannya dalam aliran ini adalah aspek perbuatan pidana dan pelaku dari perbutan pidana secara seimbang (Daad-Daader artinya perbuatan dan pelakunya). Jadi suatu pemidanaan adalah haruslah didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan secara matang dan seimbang antara fakta berupa telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan seseorang maupun kondisi subyektif dari pelaku tindak pidana khususnya saat ia berbuat. Gabungan antara keduanya harus bisa melahirkan keyakinan bahwa orang tersebut memang pelaku sebenarnya dari tindak pidana yang terjadi dan untuk itu ia memang patut dicela, yang dalam hal ini ialah dengan cara dikenakan sanksi pidana terhadap dirinya.
b.   Apabila aliran ini dikaitkan dengan salah satu konsep tentang tujuan diadakannnya hukum pidana, maka bisa dikatakan bahwa aliran ini sesunggguhnya adalah cermin atau malah penjabaran dari konsep mengenai tujuan diadakannya hukum pidana yang ketiga yaitu untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat kemasyarakatan dan sekaligus juga kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan. Hal ini menunjukkan bahwa keharusan perhatian terhadap realitas tentang telah terjadinya perbuatan pidana, kiranya dapat disamakan dengan orientasi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan yang bersifat publik. Sedangkan keharusan perhatian terhadap kondisi subjektif pelaku perbuatan pidana, kiranya dapat disamakan dengan orientasi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan yang bersifat perseorangan (c.q individu pelaku tindak pidana sebagai warga Negara).
Apabila ketiga aliran tersebut diatas dikaitkan dengan konteks bangunan hukum pidana Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa KUHP Indonesia yang sekarang adalah mencerminkan sosok hukum pidana yang mencerminkan sosok hukum pidana yang beraliran klasik (daad strafrecht). Kesimpulan demikian misalnya terlihat dari rumusan pasal-pasal KUHP yang selalu diawali dengan kata-kata: “Barang siapa melakukan…………..dst”, hal ini menunjukkan arti bahwa siapa yang berbuat tindak pidana akan dikenai pidana tertentu (tanpa harus memperhatikan kondisi subyektif pelaku saat berbuat). Ini adalah ciri khas aliran pemikiran hukum pidana klasik yang sangat menekankan aspek perbuatan daripada pelakunya. Namun, apabila dikaitkan dengan hukum pidana Indonesia mendatang (RUU KUHP Indonesia) maka dapat dikatakan bahwa bangunan RUU KUHP adalah mencerminkan sosok hukum pidana yang beraliran neo klasik/ neo modern atau daad-daader strafrecht.[7] Kesimpulan ini karena dilihat dari beberapa konsepnya yaitu:[8]
  1. Pasal 51 tentang tujuan pemidanaan. Yaitu:
Ayat (1):
1.      Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2.      Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.
3.      Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dam mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4.      Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Ayat (2):
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
b.      Pasal 52-94 tentang pedoman pemidanaan yang baik bersifat umum maupun pedoman pemidanaan bagi setiap jenis sanksi pidana.
  1. Pasal 125-129 tentang hal-hal yang meringankan dan memperberat pidana.
  2. Adanya konsep tentang individualisasi pidana yang dimasukkan dalam beberapa ketentuan pasal seperti mengenai modifikasi pidana, Rechterlijk pardon dan sebagainya.
Adanya ketentuan tentang pedoman pemidanaan, pertimbangan mengenai hal-hal yang meringankan dan yang memberatkan pemidanaan serta individualisasi pidana diatas, secara eksplisit jelas menunjukkan bahwa RUU KUHP tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia Indonesia merupakan sosok hukum pidana Indonesia mendatang yang menganut aliran klasik (daad Strafrecht) sekaligus aliran modern (daader strafrecht) karena konsep tujuan pemidanaan diatas yang nomor 1 dan 2 cermin dari aliran pemikiran klasik sedangkan nomor 3 dan 4 cerminan dari aliran pemikiran modern. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum pidana Indonesia mendatang (RUU KUHP) adalah hukum pidana yang menganut aliran pemikiran neo klasik/ neo modern.







[1] CST. Kansil, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 97
[2] M.Abdul Kholiq, Buku Pedoman kuliah hukum pidana, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2002, hlm.15.
[3] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Ctk. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm.52
[4] Ibid.
[5] CST Kansil, Op.Cit…, hlm.97-105
[6] M.Abdul Kholiq, Buku Pedoman kuliah hukum pidana, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2002, hlm.15-20
[7] M.Abdul Kholiq, Buku Pedoman kuliah hukum pidana, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2002, hlm.20-21
[8] Direktorat Jenderal Peraturan prundang-undangan, Departement Hukum dan HAM, Rancangan Undang-undang KUHP, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar